HAK ULAYAT DI MINANGKABAU

Urgensinya Hak Ulayat Di Minangkabau Cetak halaman ini dalam bentuk PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini kepada rekan Anda via E-mail

a. Latar Belakang

ImageDikehidupan masyarakat adat minangkabau banyak berdasarkan ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai yang terdapat pada alam yang nyata, maka nilai-nilai adat itupun didasarkan atas falsafah yang nyata. Ini bisa dilihat dan buktikan dalam falsafah adat minangkabau, yaitu berdasarkan pada alam yang mempunyai kedudukan dan pengaruh yang penting dalam adat minangkabau. Yang tertuang Fatwa adat menyatakan bahwa alam dijadikan guru itu benar-benar dihayati oleh anak kamanakan/masyarakat adat minangkabau yang berbunyi, ‘panakik pisau siraui, ambiak galah batang lintabung, salodang ambiak ka nyiru, nan satitiek jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunung, alam takambang jadikan guru’

Pandangan hidup inilah masyarakat adat menjalankan kehidupan yang berdasarkan kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang objektif, maka adat menentukan terlebih dahulu beberapa ketentuan alam terhadap adat itu sendiri, jadi masyarakat adat berjalan pada falsafah atau norma-norma yang berkaitan dengan alam/lingkungan, Hal ini dapat kita perhatikan dengan adanya falsafah adat yang menyebutkan, ‘adat dipakai, baru, kain dipakau, usang, cupak nan sapanjang batuang, adat nan spanajang jalan’, Yang arti dari falsafah tersebut menurut tetua adat adalah, adat dipakai tetap baru dan pakian jika dipakai menjadi usang, luntur dan hancur. Cupak panjang bambu yaitu terbatas, sedangkan adat itu adalah seperti panjang jalan yang tidak mempunyai titik akhir.


Adat akan selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Masyarakat adat minangakabu secara genologis merupakan garis keturunan yang kuat dengan kebiasaan-kebiasaan yang diwarsikan secara turun menurun. Tapi jika kita perhatikan lagi secara seksama di masyarakat minangakabau pada dekade saat ini, maka adat yang kita banggakan mulai terkikis secara perlahan akibat dari perkembangan dunia dan teknologi, hebatnya lagi, perubahan sosial yang sedang berlangsung pada saat ini sebetulnya telah di ungkapkan dalam pepatah minangkabau yang berbunyi; ’sakali aie gadang, sakali tapian baraliah’, yang artinya apabila air melimpah atau banjir dan memiliki aliran yang sangat kencang dan deras dapat merubah tepian, walaupun dapat merubah tepian namun sungai tetaplah sungai.

Sama halnya dengan Kehidupan masyarakat di Minangkabau sehari-harinya memakai pola hidup bernagari (gari) yang artinya dilingkupi oleh ketentuan-ketentuan hidup bernagari yang memiliki tingkatan-tingkatan kecil dan besar, serta pengaruh pola hidup yang dibawa oleh masyarakat dari luar nagari secara perlahan akan merubah pola, prilaku dan tatananan sosial masyarakat di nagari. Untuk menghindari perubahan yang akan merusak tatanan ini, maka seseorang atau anak-kamanakan menurut adat minangkabau harus bisa mengukuhkann diri seperti pepatah: ‘adat badunsanak, dunsanak patahankan, adat bakampuang, kampuang patahankan, adat basuku, suku patahankan, adat banagari, nagari patahankan, sanda basanda, bak aua jo tabiang’, Sikap inilah yang harus dipelihara, dipakai oleh masyarakat adat yang berada di nagari sejak dahulunya, sikap saling tolong menolong dan bergotongroyong dalam hidup bernagari merupakan hal yang wajib dan suatu keharusan di tengah-tengah masyarakat nagari, karena masyarakat di nagari secara genologis merupakan satu keturunan dan/atau keluarga.

Bukan saja dalam hal sosial saja aturan itu diberlakukan di tengah-tengah nagari, seperti halnya dalam mencari sumber ekonomi sebagai penompang hidup masing-masing keluarga di nagari, satu nagari di wilayah adat minangkabau memiliki suatu ketentuan yang harus dijalankan dan di taati (adat salingka nagari), adat hanya berlaku di wilayah adminitrasi nagari saja dan tidak berlaku di nagari tetangga dan sebaliknya.

Dalam kehidupan masyarakat adat, ada dua ketentuan hukum yang mengatur masyarakat dalam hal berhubungan dengan hutan, baik hutan adat, hutan nagari, hutan suku dan hutan kaum, yang mempunyai makna atau maksudnya adalah setiap ulayat (tanah, didalam tanah maupaun di atas tanah {hutan} ) telah ada pengelolaan atau pengaturannya. Demikian pentingnya ulayat (lahan/tanah) bagi masyarakat adat minangkabau, dan menjadikan ulayat sebagai penyatu berbagai struktural sosial masyarakat adat di nagari.

b. Pembahasan

Sebuah pengalaman tidak dapat dilepas dari perjalanan alam pikiran utama kita ketika melakukan penelitian grounded untuk mencari jawaban bagaimanakah proses penyelesaian sengketa tanah menurut kultur Minangkabau, 1994. Di saat itu, ditemukan pilihan ragam upaya pesengketa untuk memilih ragam institusi hukum yang tersedia dalam masyarakat tempatan. Fakta ragam upaya dan pilihan institusi ini mendorong gagasan untuk menelusuri lebih lanjut ragam potensi lokal (local potentialities) lain berkenaan dengan kegiatan, sebelum sengketa, penguasaan tanah dimaksud menurut kultur Minangkabau.

Pertanyaan itu semakin mengemukan ketika membayangkan sebuah asumsi bahwa jauh sebelum negeri ini berdiri, telah lahir kebiasaan yang tidak saja mengatur hubungan antarorang-perorangan, orang dan kelompok, dan antarkelompok, tetapi juga antara orang dan kelompok itu sendiri di satu pihak dengan sumber alam sekitar di pihak lain. Kebiasaan pengaturan hubungan dimaksud mulai mulai teratur, diikuti, dan melembaga menjadi kekuatan kultural (cultural potentialities) tersendiri. Sehubungan dengan itu, mestinya hingga kini, ia dipandang sebagai kekuatan lokal strategis yang dapat digunakan sebagai pengatur hampir semua arena bidang kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal masyarakat tempatan.

Namun, kenyataan menunjukkan semenjak negeri ini berdiri, terutama selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir, di negeri multietnis dan multikultural ini telah terbit beragam kebijakan hukum sumber alam (tanah, air, hutan, laut, tambang, perikanan, dan sejenisnya) mendasarkan pada paradigma sentralisme hukum (legal centralism). De jure, kebijakan hukum sentralistik dimaksud ternyata berangsur-angsur mengubur sebagian besar potensi lokal masyarakat tempatan, sehingga ia seakan tidak berdaya dalam mengelola sumber alamnya sendiri. De facto di Sumatera Barat.

Dalam konteks tanah dan sumber alam misalnya, di nagari ini praktik-praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam berdasarkan atas potensi lokal tempatan. Kasus-kasus antropologis tersebut menunjukkan bahwa potensi lokal terkandung tidak saja di dalam trouble-less cases seperti dalam kasus penggarapan sawah dan hasil panen padi menurut musim panen, pembagian durian antara kaum satu dan kaum lain dalam satu suku menurut urutan hari.

Kasus tersebut memperlihatkan gambaran bahwa pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dikonstruksi dengan model bagilie (bergilir). Model demikian memperlihatkan cara mempertahankan dan memanfaatkan sumber alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi oleh mamak atas dasar aturan lokal dalam mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan pemanfaatan sumber alam demikian.

Selain itu, dalam trouble cases seperti kasus pencurian ikan sungai oleh warga kaum suku tertentu merupakan pelanggaran hukum lokal yang penyelesaiannya pun tidak mengggunakan jalur formal-struktural, misal ketua Rukun Tetangga, Rukun Wilayah, Kepala Desa, dan kepolisian setempat. Dalam perspektif hukum formal, maka X dapat dilaporkan ke Polisi atas dasar sangkaan mengambil sesuatu tanpa seizin pemilik dengan maksud memiliki. Dengan demikian, ia akan dituduh oleh aparat kepolisian telah melakukan pelanggaran hukum negara. Namun, dalam kenyataannya, X justru dilaporkan kepada mamak suku dan penyelesaiannya pun secara berjenjang naik bertangga turun.

Dalam perspektif kultural atau hukum lokal dari trouble case diperoleh pemahaman bahwa model perajahan merupakan hukum yang hidup (living law) berkenaan dengan cara membangun batas-batas non fisik. Selain itu, model penyelesaian lewat kesepakatan antar-mamak di suatu tempat yang disebut Surau merupakan kebiasaan yang telah melembaga. Ini menunjukkan bahwa hukum negara tidak dijadikan sebagai rujukan, bahkan dihindari (avoidance), untuk menyelesaikan persoalan konflik antarkaum berbeda suku, namun diselesaikan lewat saluran kultural masyarakat tempatan.

Secara keseluruhan kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa alasan masyarakat mempertahankan pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dengan tetap mendasarkan pada potensi lokal tempatan adalah secara kultural, potensi lokal dapat mewujudkan prinsip-prinsip matrilineal, satu di antaranya mewujud ketika kedatangan suku/sukubangsa (subetnik/etnik) lain dan penyelesaian konflik di nagari tersebut. Kedatangan tersebut menjadikan dalam satu wilayah sama terdapat dua atau lebih suku/sukubangsa. Implikasinya, interaksi sosial di antara mereka baik dalam bentuk interaksi domestik seperti perkawinan lintas etnik melahirkan new family formation maupun interaksi hukum seperti yang terjadi dalam praktik pendaftaran tanah dan sertifikasi tanah hingga melahirkan pandangan neo traditionalism.

Dalam konteks interaksi yang disebut pertama, sebenarnya secara kultural matrilineal berlaku prinsip perkawinan eksogami suku (subetnik) dan endogami sukubangsa (etnik). Namun, dalam konteks adat Minangkabau hambatan matrilineal itu dibuka melalui praktik malakok (melekat). Dalam malakok ini, siapapun dan apapun etniknya dapat menikah dengan etnik Minangkabau apabila, terutama laki-laki dimaksud, telah mengaku kepada dan diakui oleh salah satu mamak yang bersuku berbeda dengan calon pasangan dalam nagari dimaksud. Dengan cara demikian, maka secara kultural ia telah ‘menjadi’ etnik Minangkabau sehingga baik kebutuhan akan prinsip matrilineal dan adat Minangkabau telah terpenuhi.

Secara sosial, potensi lokal dapat mengintegrasikan anak kemanakan yang secara teritorial dan sosial, sebagaimana dalam kasus batas sepadan, telah tersebar ke beberapa daerah akibat praktik perkawinan eksogami dan/atau merantau. Dalam konteks ini, apabila warga kaum berada di luar maka mereka akan diundang untuk berpartisipasi mendukung penyelesaian konflik yang terjadi di tanah kelahirannya. Siapa yang diundang akan diketahui dari runutan sebuah ranji dan besaran jumlah orang yang tercantum dalam ranji tergantung skala dan intensitas konflik, semakin besar intensitas konflik semakin besar pula warga kaum suku yang akan dilibatkan.

Demikian pula dalam konteks ekonomi, potensi lokal dapat mempertinggi dan menjaga tingkat kesejahteraan dengan cara membagi hasil sumber alam secara ‘merata’ sesuai kehendak alam. Antara kaum satu dan yang lain dalam menerima apa yang diterima dipandang sebagai kehendak alam diyakini sebagai perwujudan Alam Takambang Jadi Guru. Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi sengketa. Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan kepada komunitas luar bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan bagaimana ideologi komunal diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan berbagai kepentingan berbeda.

Atas dasar kepemilikan komunal atas ulayat di Minangkabau ini sangat berpengaruh pada struktur hukum baik adat maupaun negara. Sedangkan untuk saat ini 2 (dua) ketentuan hukum yang mengatur masyarakat adat minangkabau adalah;


1. Hukum Adat

2. Hukum Positif (Negara)

Telah kita ketahui secara bersama kalau masyarakat minangkabau mempunyai adat yang bersandar pada syaraq’ (agama), dan ini sangat efisien dan dihormati oleh seluruh struktur masyarakat adat, karena sanksi adat di minangkabau lebih pada sanksi moral dan sosial yang kuat dan mempunyai efek jera yang positif. Sementara Hukum Positif (negara) hanya menampakan pada pemaksaan pelestarian untuk keberlanjutan sumbar daya yang ada di dalam ulayat adat, tanpa ada solusi yang benar-benar dirasakan oleh masyakat.

Begitu juga Pengaturan hutan adat yang dulunya di kelola oleh masyarakat adat secara garis keturunan (genologis), tapi setelah hak kelola ini diberikan pada perorangan (perusahaan), secara drastis masyarakat kehilangan hak kelola dan pemanfaatannya, Hal ini bisa kita lihat poin-poin dibawah ini;

a. Hutan masyarakat adat, yang mengelola hutan dengan mengambil kayu adalah berdasarkan nilai-nilai adat, dan kesepakatan dalam masyarakat sejak dahulunya meupun sampai sekarang ini, masyarakat adat berhak mengambil, mengelola hutan yang ada di ulayat nagari, suku dan kaum atas izin sesuai dengan tingkatan kepemilikan ulayat dimana kepemilikan ulayat (kayu) diambil, sampai sekarang tidak menimbulkan persoalan atau bencana akibat diambilnya kayu di atas tanah ulayat masing-masing tingkatan, maka tidak menimbulkan ekses terhadap keseimbangan hutan sebagai penyangga tanah dari erosi karena masyarakat adat dalam mengambil kayu di atas tanah ulayat berdasarkan ketentuan-ketantuan yang objektif.

b. Masyarakat adat sebagai pemilik ulayat hanya bisa pasrah atas izin yang dimiliki badan hukum dan badan usaha yang mempunyai hak pengelolaan hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan izin prinsip diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. HPH ini diberikan kepada pengusaha hutan untuk mengambil kayu di atas tanah ulayat masyarakat. Hal ini tentunya berdampak bagi masyarakat dan akhirnya masyarakat adat yang memiliki ulayat bersikap untuk mengambil untung sebesar-besarnya dengan tidak memperhatikan bencana banjir dan longsor sehingga terjadinya rusaknya hutan secara luar biasa akibat dari penebangan liar.

c. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan, masyarakat adat dilarang untuk

mengambil kayu di hutan, kecuali apabila telah ada alas hak yang telah mempunyai sertifikat dan/atau surat keterangan kepemilikan dalam bentuk girik (leter c), hal ini menimbulkan persoalan bagi masyarakat adat minagkabau dalam mengelola hutan ulayat, karena ulayat di minangkabau kepemilikannya adalah secara kolektif/komunal, dan tidak memiliki sertifikat atau Letter c sebagaimana daerah lainnya.
Perlakuan yang tidak adil terhadap masyarakat adat di minangkabau, berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat adat dalam meningkatkan sumber ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Tidak diperbolehkannya masyarakat adat mengelola hutan (kayu) di atas tanah ulayat mereka sendiri, secara langsung telah menghilangkan tatanan adat nagari di minangakabau, karena ulayat adalah salah satu dari bukti dari garis keturunan keluarga/suku/kaum. Diperparah lagi hilangnya nilai-nilai sosial dan aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang telah digariskan secara turun-menurun.

d. Paradigma Masyarakat Adat dalam Hukum positif.


Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota yaitu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang (Pasal 8 Ayat (2) UUD 1945). Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintah menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hal-hal tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prisnip NKRI yang diatur ddalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945.

Negara memajukan kebudayaan nasioanl Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang tersebar di nusantara. Konsep “unifikasi hukum” telah diterapkan cukup lama di NKRI. Berbagai peraturan perundangan kemudian dibuat sesuai dengan konsepsi di atas. Sekedar contoh adalah: UU Perkawinan (UU No. 1/74), seperti diketahui UU ini ditujukan untuk menggantikan enam sistem hukum lain yang tadinya berlaku untuk pelbagai golongan masyarakat di tanah air. Tujuan unifikasi peraturan perundangan tersebut adalah agar terjadi pelaksanaan hukum yang terkoordinasi, lebih tertib dan kinerjanya diharapkan meningkat. Lalu, pertanyaannya apakah kenyataannya demikian? Perdebatan untuk jawaban itu pun setidaknya bisa terpilah dua, yang satu berkenaan dengan susunan yuridis normatifnya, satunya lagi mengenai efektivitas peraturannya di lapangan. Namun, rata-rata di antara kita akan menyatakan bahwa kondisi dan kinerja hasil unifikasi hukum belum juga mengalami perbaikan signifikan.

Pada saat yang sama, bahkan telah berlangsung jauh lebih lama terdapat pelbagai sistem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lain (the other cultures) selain state law (hukum negara). Masyarakatnya mempertahankan sistem-sistem hukum tersebut secara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Sebagian pihak menganggap the other laws bagian dari masa lalu, namun sebagian lagi menyatakan bahwa mereka tetap eksis hingga kini. Dan, sebagian lainnya menyatakan ada, namun semakin terkikis. Keberadaannya acapkali dirasakan pada berbagai peristiwa (hukum).

Karena konsep ‘unifikasi hukum’ tetap didahulukan, maka keberadaan the other laws (hukum-hukum masyarakat lokal) menjadi terkendala. Kendalanya adalah: a) dari sisi masyarakat pemilik hukum lokal, mereka semakin tidak leluasa dalam mengimplementasikan hukumnya, b) dari sisi state, hukum-hukum lain ditanggapi sebagai ganjalan yang dapat menghambat proses pembangunan (semesta).

Benturan antara state law versus the other laws kemudian terjadi, dan dinamikanya terkadang tinggi, dan rendah. Konsep inilah yang dalam kajian antropologi hukum dikenal sebagai – konsep – terjadinya benturan antara legal centralism (pemusatan hukum) dengan legal pluralism (kemajemukan hukum). Yang satu dihadirkan, terutama, oleh hukum negara, dan yang lainnya oleh hukum masyarakat-masyarakat setempat.

Apabila kita fokuskan persoalan pada satu tempat yaitu di Minangkabau Sumatera Barat bahwa kepemilikan sumber daya alam oleh anakkamanakan yang di ketahui oleh niniakmamak sebagai pengatur ulayat adalah aturan positif di tengah-tengah masyarakat adat di nusantara. Kehidupan masyarakat adat diatur oleh dua ketentuan hukum yang mengatur masyarakat dalam hal berhubungan dengan ulayat, yang terbagi atas hutan adat, hutan nagari, hutan suku dan hutan kaum. Sedangkan penguasan tenurial (ulayat) menurut versi pemerintah sangat jauh berbeda dengan masyarakat adat. Yaitu;


1. bahwa masyarkat adat yang mengelola hutan dengan mengambil kayu adalah berdasarkan nilai-nilai adat sesuai dengan kesepakatan yang telah diatur dari dahulu sampai sekarang, dengan nilai-nilai yang objektif.


2. Masyarakat sebagai pemilik ulayat hanya bisa pasrah atas izin yang diberikan oleh pemerintah seperti HPH yang diberikan oleh pemerintah.

Akibat dari semua izin ini adalah terjadinya bencana alam dan dalam hal ini adalah masyarakat sebagai penerima bencana sebagai akibat dari aktifitas yang tidak lagi terkendali. Dengan keputusan Menhut bahwa masyarakat dilarang untuk mengambil kayu di hutan kecuali bila telah ada alas hak seperti sertifikat/gerik/leter C, hal ini menimbulkan persoalan di dalam masyarakat. Dalam UUD 1945 juga telah mengatur sedemikian rupa seperti apa yang tercantum dalam Pasal UUD 1945 yaitu Psl 18 ayat (2), Psl 18 B ayat (2), Pasal 36 ayat (2) Pasal 33 ayat (3). Kemudian dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berkenaan dengan itu dimana tanah adalah merupakan urusan wajib dari pemerintahan daerah, namun hal ini tidak dapat diilaksanakan berkenaan dengan terbitnya Keppres No. 10 tahun 2006 tentang tanah adalah merupakan kewenangan pemerintah pusat, hal ini terjadi tarik-menarik antara pemerintah pusat dan daerah (otonomi setengah hati)mengenai kewenangan tanah juga telah diatur lebih lanjut dalam draft final rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pembagian urusan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pada prinsipnya merupakan sharing kewenangan tentang tanah antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, dimana menyangkut tentang; perumusan kebijakan provinsi mengenai penetapan pengakuan atau penolakan tanah ulayat dengan merujuk kebijakan nasional. Selanjutnya adalah melaksanakan kebijakan provinsi mengenai penetapan, pengakuan atau penolakan tanah ulayat sesuai pasal 11 ayat 1.a dan ayat 1.b. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi kabupaten dan kota dalam mengurangi angka kemiskinan adalah kebijakan penanaman sejuta coklat/kakao tetapi kebijakan ini tidak mempunyai nilai tambah oleh masyarakat karena kayu yang ada tidak boleh dimanfaatkan sebagai akibat dari pembuatan lahan perkebunan.


Pemerintah daerah bersama DPRD Provinsi Sumatera Barat telah membuat Ranperda tentang tanah ulayat periode 1999-2004. Tetapi terjadi polemik dalam pembahasan dan penetapanya yaitu dalam pengembalian tanah ulayat yang telah habis masa berlaku HGUnya. Pemerintah provinsi Sumbar telah menetapkan Perda No. 2 tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari khususnya Pasal 16 ayat (1) menyatakan “hutan adalah merupakan kekayaan nagari”. Berdasarkan beberapa hal tsb di atas, maka untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan pengelolaan tanah ulayat perlu ditetapkan:


1. Perda tentang pemanfaatan tanah ulayat (draftnya telah disampaikan oleh pemerintah daerah ke DPRD provinsi Sumatera Barat)

2. Perlu adanya Perda pengelolaan/pemanfaatan kayu di hutan tanah ulayat

masyarakat adat
3. Perlu dibuat regulasi untuk memberikan izin kepada masyarakat adat dalam pemanfaatan kayu di atsa tanah ulayatnya dengan koordinasi antara pemerintahan daerah, kepolisian dan kejaksaan

Demikian saja pemaparan dari saya, Asslamualaikum

Hasil penelitian ini lihat Saptomo (1995), Berjenjang Naik Bertangga Turun: Sebuah Kajian Antropologi Hukum tentang Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau, Tesis 2. Jakarta: PPs UI.


Untuk memperkaya wacana hal ini dapat dibaca konsep forums shopping dan shopping forums yang dikemukakan oleh Benda Beckmann (1984), The Broken Stairways to Concensus, Village Justice and State Coutrs in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.

Mungkin saja ia akan dijerat pasal 352 KUHP tentang Pencurian.
Mengenai contoh praktik-praktik penyelesaian sengketa lihat Saptomo, loc cit
Mengenai hal dapat dibaca pada Saptomo (2002, 2003) “Jamin”: Proses Integrasi Sukubangsa Jawa dengan Minangkabau.


Dalam konteks inilah saya membedakan antara kultur matrilineal dan kultur Minangkabau. Kultur disebut pertama memiliki karakter universal, sementara yang kedua berkarakter lokal Minangkabau.

Praktik-praktik matrilineal (unilineal) dalam masyarakat Minangkabau demikian ini saya sebut sebagai Minangisasi, lihat Saptomo (2002), op cit. Dengan asumsi demikian, maka praktik patrilineal dalam masyarakat Batak dapat pula disebut sebagai

Batakisasi.
Di sini, saya memunculkan dua pengertian kaum. Pertama, pengertian formal statis tentang kaum sebagai satuan sosial sebagaimana biasa diperkenalkan dalam buku-buku Adat lama. Kedua, pengertian kontekstual dinamisional dimana kaum dipahami sebagai alat pengintegrasian sosial.

Konsep-konsep demikian juga pernah dikemukakan oleh Laura and Nader and Todd (197 dalam Dispute in Ten Societies.Dalam konteks demikian ini sebenarnya dapat diinterpretasi bahwa telah terjadi pertarungan antara ideologi komunalisme versus individualisme. Mengenai pertarungan antara komunalisme versus individualisme, kapitalisme versus sosialisme, lihat Saptomo (2004), DELICTI, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume I No. 3/Agustus, ISSN 1693-4350. Padang: FH Unand, hlm. 12-20.

Menurut Hartono (1993), Garis-Garis Besar Haluan Negara telah menggariskan unifikasi hukum, dan bahwa di seluruh Kepulauan Nusantara – mungkin maksudnya Indonesia (pen.) – hanya berlaku satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional (p. 9).

Kebudayaan: keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Suparlan, 1980).

The other laws itu, rata-rata berada di daerah perdesaan (rural area) dan pelosok (remote area). Itulah mengapa masyarakat kebanyakan di perkotaan (urban area) mengalami pengikisan posisinya karena landasan the other laws mereka melemah. Melemahnya bisa karena tergeser ke ruang yang berbeda (dari desa atau pelosok ke kota), bisa pula karena di kota belum terbangun sistem hukum masyarakat yang memadai, dan dapat pula karena pusat kekuasaan state berada di kota, sehingga kontrol state atas pelaksanaan state law relatif lebih intensif di perkotaan.

State (negara) adalah entitas politik yang memegang hak kedaulatan atas suatu daerah tertentu dan melaksanakan kekuasaannya dengan menggunakan lembaga-lembaga politik yang hierarkis dan di bawah pimpinan pusat (centralized), untuk mengadakan pengawasan, menarik pajak, serta melaksanakan undang-undang dan kewajiban warganegara (Keesing, 1992: 294).

Disadari maupun tidak, konsep “legal ethnocentrism” merambat di kalangan pengguna state law, yakni the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western (Spradley & McCurdy, 1975). Hal itu terjadi antara lain karena: a) upaya mengedepankan penyatuan hukum nasional, b) pengaruh ajaran-ajaran yuridis normatif yang sekian lama menjalar di berbagai kalangan, dan c) derasnya arus pembangunan yang pengertian maupun cakupannya melekat pada kebijakan penciptaan sistem hukum nasional di atas.

sumber : http://qbar.or.id